MENGEMBALIKAN KELUHURAN MARTABAT HAKIM
Menarik garis mundur ke belakang, kita dipersaksikan dengan beberapa kejadian yang menggemparkan dunia peradilan. Bukan karena objek kejadiannya yang menarik perhatian dan menimbulkan kegaduhan, namun karena subjek kejadiannyalah yang menjadi
titik perhatian. Ya, hakim sebagai profesi yang dilabeli officium nobile (profesi yang mulia) diperhadapkan pada kenyataan sebagian oknum yang dengan berani merongrong kemuliaan dan keluhuran profesinya. Tak pelak ekspektasi tinggi di masyarakat akan hadirnya sosok pengadil yang benar-benar menegakkan keadilan tergerus dalam hingga mendekati titik nadir. Perselingkuhan, korupsi, dan perilaku indisipliner lainnya menjadi warna kelam bagi dunia penegakan hukum di Indonesia. Pertanyaannya, masihkah profesi hakim pantas dilabeli "officium nobile" .
Perselingkuhan: Warna Kelam Dunia Peradilan
Perselingkuhan tampaknya mendominasi fenomena pelanggaran etik
hakim akhir-akhir ini. Wajah yang luhur dan bermartabat pada profesi hakim
praktis tergerus amat dalam. Sidang MKH terakhir yang dilaksanakan oleh
Majelis Etik yang beranggotakan Hakim Agung MA dan para Komisioner
KY telah memvonis beberapa hakim yang terbukti melakukan perselingkuhan.
Vonis pun dijatuhkan, dan yang pasti sanksi berat telah diterima.
Implikasinya nyata,warna dunia peradilan kian kelam, tampak bercak hitam
di mana-mana, hingga pada akhirnya peradilan tidak lagi dipandang sebagai
benteng terakhir penegakan keadilan.
Namun, sampai disitukah penanganannya? Tirmpaknya perlu untuk
melihat secara lebih luas fenomena perselingkungan hakim ini. Dalam
talkshowyang ditayangkan salah satu televisi swasta baru-baru ini, salah
seorang Komisioner KY -"n,rturkan bahwa maraknya kasus perselingkuhan
rratim salah satunya disebabkan oleh pola mutasi'yang belum representatif'
pola mutasi dimaksud adalah pola mutasi yang belum menjadikan kedekatan
jarak (distance) antarahakim dengan pasangannya (suami atau istri). Faktor
'jaruk'(dktance) ini kemudian ditengarai sebagai salah satu determinan
tr,"-"y"ng kemudian menyebabkan banya\ hakim yang selingkuh'
Namun, benarkah demikian? Satu sisi, hal ini benar adanya karena
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan MKH sedikit banyak mengurai
kegundahan parahakim yang tempat tugasnya sedemikian jauh dari keluarga
seiinggalarang bertemu atau bertatap langsung dengan keluarganya' Tetapi'
u teiJeu.rt tetap tidak boleh menjadi pembenaran, karena apapun alasannya,
selingkuh
"ialah
perbuatan yang "nista" dan profesi hakim jauh-jauh
hari sudah digaungkan wajib dijauhkan dari segala anasir "nista" semacam
selingkuh dalam pandangan penulis perlu lebih membentengi
diri dlengan perisai "kesetiaan" dan "kedekatan (taqarrub) dengan Tuhan",
sesuatu yang tampaknya semakin jarang ditemui dalam kehidupan sehari hari.
Ya, kesetiaan menjadi sedemikian mahalnya karena tercabik oleh
perubahan zamanyang semakin permisif dengan hal-hal yang sedari awal
iihara-ka' oleh agarna. Dinamika masyarakat semakin menunjukkan keenggananny"
unt.rk -.lepaskan diri dari godaan duniawi yang sesungguh-
,,yl-,.nista,;. Hakim, sebagai profesi yang mulia dan ditasbihkan sebagai
wakil Tuhan seharusnyajauh dari hal-hal tersebut. karenanya, kesetiaan
sangat relevan dengan kegiatan "mendekatk art (ta4arrub) diri" dengan Tuhan'
Tirnpa itu semua, mustahil membebaskan semua hakim dari kekhawatiran
selama ini, yaitu hakim selingkuh.
Korupsi: Masihkah Penegakan Hukum lndonesia Tersemai?
Setali tiga uang dengan perselingkuhan, korupsi seakan berlomba untuk
terus menggerus upaya penegakan hukum di Indonesia. semaian bibit
elan penegakan keadilan mati secara perlahan. Yang ada hanyalah berita
rentang hakim yang melakukan korupsi, dari angka jutaan hingga angka
yang menembus 10 digit alias miliaran. Tidaktanggung-tanggung, dugaan
iot,rpri yang dilakukan oleh hakim tidak hanya menjangkiti hakim
pengadilan tingkat pertama namun juga menjangkit luas hingga menjerat
pimpinan lembaga tertinggi penegakan hukum'
segar dalam ingatan kita, kini dan bahkan mungkin beberapa puluh
tahun berikutnya, bahwa korupsi telah menjadi bahaya laten yang tidak
pandang buluh. Hakim dalam tingkatan peradilan teftinggi sekalipun tidak
lolos dari jeratan korupsi. Lalu di mana elan penegakan hukum selama ini?
Apakah masyarakat masih boleh mematri secercah harapan bahwa negeri
ini akan diliputi keadilan? penulis berani mengatakan ya, karena pada
dasarnya masih banyak hakim yang jujur dan berintegritas tinggi. Namun,
fenomena korupsi lebih eksotis dan menarik perhatian dibanding
pemberitaan mengenai hakim yang berintegritas. Faktanya, dominasi
pemberitaan hakim yang korupsi jauh merebihi pemberitaan hakim yang
berintegritas tinggi.
Semangat untuk memberantas korupsi memang telah lama digaungkan.
Bahkan KPK sebagai salah garda"terandal" dalam pemberantasan koiupsi
memublikasikan slogan singkat nan sarat makna "berani jujur hebat!,,. slogan
sederhana namun tampaknya tidak disadari bagi sebagian hakim yang telah
divonis melakukan korupsi, pun dengan yang terindikasi atau diduga kuat
melakukan korupsi.
Peran Mahkamah Agung dalam Menata Kembali
Pertanyaan mendasar yang perlu segera dijawab adalah di mana dan
bagaimana peranan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dunia
peradilan di Indonesia? untuk menjawabnya, perlu menyimak kembali
peran Mahkamah Agung yang paling mendasar. pertama,Mahkamah Agung
(MA) memiliki fungsi pengawasan, yaitu mengawai setiap perilaku hakim
di seluruh Indonesia. perilaku hakim di sini mencakup perilaku dalam
pelaksanaan teknis yustisial maupun perilaku hakim . kehidupan
sehari-hari. sekadar dipahami, hakim adalah profesi yang melekar, karenanya
di mana pun seorang hakim berada profesinya akan ienantiasa melekat,
sehingga hakim dituntut untuk menegakkan benar Kode Etik Hakim yang
ada. MA dalam hal ini melakukan pengawasan secara internal melalui sebuah
Badan Pengawasan (Bawas). Namun dalam melaksanakan pengawasan
tersebut MA bekerja sama dengan Komisi yudisial (Ky) sebagai dua institusi
yang diamanatkan negara untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh
hakim di Indonesia.
Tidakmudah memang mengawasi hakim dari empat lingkungan peradilan
(Peradilan umum, peradilan Agama, peradilan uitit"r, a"r, peradilan
Tata usaha Negara) yang jumlahnya lebih dari 8.000 hakim. Namun, peran
MA tersebut harus tetap dijalankan secara maksimal serta meningkitkan
partisipasi pihak luar, dalam hal ini masyarakat sebagai elemen eksrra
yudisial. Pengawasan dengan metode "partisipatif" ini sesungguhnya telah
dijalankan oleh MA, namun hasilnya masih belum memenuhi ekspektasi
yang ada.
Kedua, fungsi pembinaan. MA memiliki fungsi melakukan pembinaan
secara intensif dan masif kepada seluruh hakim. Fungsi pembinaan ini
pun telah dijalankan MA antara lain dengan melakukan lokakarya sosialisasi
Kode Etik Hakim, pembinaan dalam kegiatan bimbingan teknis, maupun
penerbitan Surat Edaran MA (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) yang khusus memberikan arahan kepada para hakim dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Segala hal yang mungkin dilakukan dalam
pembinaan sejatinya telah dilakukan oleh MA, namun masih saja ada
oknum yang dengan mudahnya melupakan substansi pembinaan dari MA
tersebut.
Lalu apayang salah dengan yang selama ini telah dilakukan MA? penulis
ingin mengatakan MA selama ini sudah benal pembinaan sudah sedemikian
masif dilakukan, pun dengan sanksi-sanksi tegas sudah dijatuhkan kepada
para hakim yang melanggar, namun tetap saja muncul hakim-hakim pelanggarlainnya.
Masalah mental dan akhlaktampaknya adalah akardari semua
ini sehingga upaya-upaya tersebur di atas seakan nirhasil.
Peran MA dalam Menata Moral para Hakim
Pada uraian sebelu.mnya, telah penulis kemukakan bahwa masalah
mental dan akhlak (moral) menjadi akar dari permasalahanyangmendera
korps Hakim dewasa ini. Lalu masihkah adayang dapat dilakukan MA?
Jawabnyaya. Pendekatan religius pada setiap pembinaan tampaknya sedikit
terlupakan dalam setiap pengawasan dan pembin aanyangselama ini telah
dilakukan. Menata moral memang bukan perkara mudah, bahkan sebagian
mungkin sepakat bila membangun gedung puluhan lantai jauh lebih mudah
dari pada menata dan memperbaiki moral seseorang.
Apatisme untukmemperbaiki moral parahakim sah-sah sajadi tengah
tergerusnya mertabat profesi hakim akibat ulah sekelompok oknum.
Namun apatisme tersebut tidak lantas menutup seluruh pintu pembinaan
moral kepada para hakim. Kita kembalikan kepada akar permasalahannya,
yaitu moral. Moral yang berbasis pada spiritualitas dengan transendensi
(ketuhanan , ilahiyah) sebagai patron urama. Agaknya perru dipertimbangkan
untuk lebih memaksimalkan kembali pembinaan yang berbasis pendekatan
religius (spiritual) kepada para hakim. Bukankah psikolog rernarna,
Abraham Maslow pernah mengemukakan pada aktualisasi diri adalah ke-
butuhan tertinggi dari setiap manusia? Aktualisasi diri inilah yang mewujud
pada kesadaran spiritual tertinggi yang nanti menjadi benteng terakhir
bagi para hakim untuk melepaskan dirinya dari jeratan perselingkuhan,
korupsi, dan perilaku indisipliner lainnya.
Pada Akhirnya, Keluhuran Martabat Profesi Hakim Harus
Dikembalikan
Pada akhirnya, segalanya tidak akan berhasil bila setiap hakim tidak
menyadari benar tugas dan tanggung jawabnyasebagai pengadil. Segalanya
juga tidak akan berhasil bila masyarakat melakukan pembiaran dan bahkan
melibatkan diri sebagai salah satu aktor dalam tindak pelanggaran rersebut.
segalanya juga tidak akan berhasil bila MA tidak memulai untuk menjadikan
pendekatan religius (spiritual) dalam setiap pengawasan dan pembinaannya.
Masalah moral adalah masalah yang lebih dari sekadar menegakkan
etika profesi. Masalah moral adalah masalah yang jauh melampaui batasan
etik tersebut karena moral berkaitan langsung dengan kesadaran spiritual
seorang hakim, kesadaran bahwa hakim senantiasa diawasi oleh Tuhan
dan karenanya setiap perbuatan, tindak tanduk, dan putusannya akan
senantiasa dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
Masih ada harapan, masih ada asa untuk mengembalikan keluhuran
martabat profesi hakim. Mahkamah Agung (MA), masyarakat, dan hakim
itu sendiri harus menyatukan visi agar ke depan dunia peradilan kita dapat
kembali menampakkan wajahnya yang bersih dan murni dari kotorankotoran
perilaku "nista" yang dilakukan oleh oknum-oknum terdahulu.
Tidak ada kata terlambat untuk menyelamatkan dunia peradilan Indonesia.
0 Comments:
Posting Komentar