SAAT NABI DAUD BERCERMIN
Dalam beberapa literatur klasik, jumlah nabi sangat banyak hingga mencapai angka 124.000 nabi, dan di antara jumlah itu yang menjadi rasul sebanyak 313 rasul, Hanya saja, Alquran menegaskan bahwa sebagian rasul saja yang diceritakan dalam Alquran ,sementara sebagian lain tidak diceritakn. Salah satu
yang cukup sering
diceritakan Alquran adalah kisah Nabi Daud alaihi salam. Nabi Daud a.s., sering dikenal sebagai nabi yang luas kerajaannya, andal bala tentaranya, juga dianugerahkan suara yang merdu hingga makhluk di sekililingnya selalu syahdu saat ia membaca Kitab zabur. Kedudukannya sebagai raja dari sebuah kerajaan yang kukuh itu tidak diperoleh secara serta-merta, tetapi melalui proses panjang dari yang semula dirinya hanya pengembala kambing 'bersenjata' ;tongkat batu. Kedudukan yang rendah itu kemudian menjadi sangat mulia dan ia dikenal luas di kalangan Bani lsrail, setelah atas izin Allah swt. mengalahkan Jalut, sosok sangat angkuh lagi lalim di zamannya. Daud pun menggantikan Raja Thalut, dan mewarisi kerajaan yang besar.
Selain kelebihan-kelebihan itu, Nabi Daud a,s, sesungguhnya juga dianugerahkan kemampuan menyelesaikan sengketa, membedakan antara yang hak dan yang batil, sebagaimana idealnya ada dalam jiwa semua hakim didunia ini, Kemampuan kehakiman sedemkian ini disebut Alquran sebagai fashl al khitab.s Banyak tafsir yang memberikan pemaknaan terhadap istilah tersebut. Qadhi Syuraih dan al Sya'biy misalnya, termasuk juga Qatadah, menafsirkan istilah fashlal khitab sebagai saksi-saksi dan sumpah dalam kaitan memutus suatu sengketa. Artinya Nabi Daud a.s. dianugerahkan kemampuan memutus sengketa dengan menerapkan kaidah hukum acara berupa saksi-saksi bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat. Mujahid dan al Saddy memberikan makna ketepatan dalam memutus atau menjatuhkan putusan guna mengakhiri sengketa.
Terlepas dari penafsiran itu, bila di lihat dari beberapa riwayat yang berhubungan dengan bagaimana Nabi Daud a.s, memutus perkara, akan terlihat adanya beberapa 'romantika' keadilan yang bergulir dalam dirinya, sehingga memutus perkara, dihubungkan juga dengan esensi putusan itu bagi dirinya sebagai sang pengadil, juga saat bersamaan dengan anaknya Nabi Sulaiman a.s, Antara lain dapat diceritakan di sini adalah norma keadilan yang diterapkan oleh Nabi Daud dalam memutus
kasus kambing yang memakan hasil kebun orang lain.
"Suatu ketika seorang lelaki pemilik kebun datang kepada Nabi Daud
a,s, disertai dengan lelakiyang lain. Pemilik kebun itu berkata kepadanya,
"Tuanku Nabi Daud a.s,, sesungguhnya kambing laki-laki ini masuk ke
kebunku dan memakan semua anggur yang ada di dalamnya. Aku datang
kepadamu agar engkau mefiadi hakim bagi kami. Aku menuntut ganti rugi",
Nabi Daud a,s. berkata kepada pemilik kambing, 'Apakah benar bahwa
kambingmu memakan kebun lelaki ini?" Pemilik kambing itu berkata, "Benar
wahai tuanku" Daud a.s. berkata, 'Aku telah memutuskan untuk memberikan
kambingmu sebagai ganti dari apa yang telah dirusak oleh kambingmu". Nabi
Sulaiman a.s, yang Allah swt. telah memberinya hikmah di samping
ilmu yang diwarisi dari ayahnya, berkata, "aku memiliki hukum yang lain,
wahai ayahku". Nabi Sulaiman melarjutkan, 'Aku memutuskan agar pemilik
kambing mengambil kebun laki-laki ini yang buahnya telah dimakan oleh
kambingnya. Lalu hendaklah ia memperbaikinya dan menanam di situ sehingga
tumbuhlah pohon-pohon anggur yang baru. Dan aku memutuskan agar pmilik
kebun itu mengambil kambingnya sehingga ia dapat mengambil manfaat dari
bulunya dan susunya serta makan darinya. Jika pohon anggur telah besar
dan kebun tidak rusak atau kembali seperti semula, maka pemilik kebun itu
dapat mengambil kembali kebunnya dan begitu iuga pemilik kambing pun
dapat mengambil kambingnya" Nabi Daud a.s. berkata, "lni adalah keputusan
yang hebatwahai Sulaiman. Segala pqii bagi Allah swt. yang telah memberimu
hikmah ini. Engkau adalah Sulaiman yang benar'benar bliaksana" Nabi Daud
a.s,, meskipun kedekatannya kepada Allah swt. dan kecintaannya kepada-
Nya, selalu belajar kepada Allah swt. Allah swt. telah mengqjarinya
agar ia tidak memutuskan suatu perkara kecuali setelah ia mendengar
perkataan kedua belah pihak yang beperkara.
Dalam konteks peradilan saat ini, kisah Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. dalam memutus kasus kambing pemakan hasil kebun
ini mengandung beberapa korelasi yang dapat d!jabarkan dalam empat
hal. Pertama, penerapan asas audi et alteram partem, bahwa dalam
memutus perkara kesempatan harus diberikan secara seimbang bagi
kedua belah pihak, sehingga tidak dibenarkan memutus sengketa tanpa
memberikan kesempatan memperdengarkan jawaban pihak yang
digugat, Sebab dari proses ini akan muncul fakta yang akurat yang
merladi landasan putusan. Asas ini sesungguhnya bukan panduan
yang baru dikenalkan oleh hukum acara perdata produk Belanda. Sebab
secara historis, asas itu sudah sejak zaman para nabi dan rasul diterapkan
secara seragam dan diterima turun-temurun. Apalagi jika dicermati
dari sejarah kodifikasi hukum acara Belanda, ternyata menginduk
kepada Hukum Acara Perdata di Prancis, yang notabene pernah dikuasai
umat lslam berikut penerapan hukumnya pun adalah hukum yang
dikenal dalam tradisi lslam. Kedua, legalitas dissenting opinion, yaitu
perbedaan pendapat hakim harus diutarakan sedemkian rupa dengan
argumentasi hukum yang akurat, setidaknya dalam musyawarah majelis
hakim, tiap hakim harus mengemukakan pendapat yang merdeka yang
kemudian dipertimbangkan untuk mendapatkan pendapat akhir yang
paling dekat dengan keadilan. Ketiga, sikap bljaksana dan mau menerima
pendapat hakimjunior, jika memang dilandasi oleh argumentasi yang
memadai, sebagaimana kebesaran jiwa itu ditunjukkan oleh Nabi Daud
a,s. saat menerima pendapat hukum anaknya Nabi Sulaiman a.s' Keernpat,
orientasi hukuman putusan perdata padd dasarnya tidak ideal jika
sekadar mengukur kesalahan dan kerugian semata-mata, melainkan
harus mengacu kepada orientasi restorative justice, yaitu upaya
memulihkan keadaan pihak sehingga hukuman yang diberikan bersifat
mengembalikan keadaan pihak yang dirugikan sesuai dengan bentuk
kerugian yang dialami bukan langsung dalam bentuk kompensasi atau
dikonversi ke dalam bentuk selain dari pada bentuk kerugian yang
sesungguhnya.
Kisah lain yang juga menggambarkan 'romantika' keadilan dalam
putusan Nabi Daud a.s., juga terlihat dalam kasus perebutan anak,
Dua orang ibu yang baru saja melahirkan bayi, dalam suatu waktu
yang bersamaan berada dalam suatu tempat dan bayi-bayinya ditaruh
ber-jajar di tempat yang sangat berdekatan. Tiba-tiba datang seekor
serigala Sangat buas mencurisalah Satu bayi. Kemudian ibu yang anaknya
dimakan serigala berusaha mengakui anak yang masih hidup sebagai
anaknya, dan memperkarakannya kepada Nabi Daud a.s. Dengan segala
argumentasi yang diqjukan penggugat, Nabi Daud a.s. memutuskan
bahwa anak itu milik si penggugat. Terhadap putusan itu Nabi Sulaiman
a.s. menerapkan cara mengadili yang berbeda, Nabi Sulaiman a.s.
meminta sebilah pisau agarbayi itu dibelah dua masing-masing ibu
mendapat separuhnya, Kemudian ibu yang mengaku-ngaku bayi itu
sebagai anaknya, membenarkan cara Nabi Sulaiman a,s., sementara
ibu kandung anak itu yang berposisi sebagai tergugat tidak tega, dan
menyatakan agar jangan dibelah, berikan saja anak itu kepada penggugat.
Lalu Nabi Sulaiman a.s. meqiatuhkan putusan, memberikan
anak itu kepada tergugat karena dia ibu kandung sebenarnya sebab
tidak ada ibu yang tega membiarkan anaknya dibelah dua.7
Sesungguhnya Nabi Daud a.s. diberikan Allah swt. kemampuan
yang tqjam dalam memutus perkara. Hanya saja, Allah swt. hendak menueiukkan bahwa anaknya yaitu Nabi Sulaiman a.s. punjuga diberikan
kemampuan yang sama sehingga penegakan hukum dan keadilan,
dapat diembankan kepadanya untuk melanjutkan tugas kerasulan di
muka bumi, Putusan-putusan yang dijatuhkan Nabi Daud a.s., merupakan
pembelqjaran yang didesain Allah swt., tidak sqja bagi umat Nabi
Daud a.s., tetapijuga bagi Nabi Daud a.s. itu sendiri. Bahwa keadilan
yang diterapkan kepada umat, harusjuga diterapkan kepada diri Rasul
itu sendiri. Hal ini sangatjelasdipahami dari salah satu putusan Nabi
Daud a.s. dalam kasus sengketa kambing betina yang diabadikan dalam
Alquran Surah Shaad ayat 23-25.
Dalam kisah itu, Nabi Daud a.s, yang sedang berada dalam mihrabnya,
dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang sedang bersengketa.
Meskipun sempat heran, sebab bagaimana mungkin istana yang
peqjagaannya ketat, bisa masuk dua orang tanpa pengawalan, namun
insting kehakimannya membuatnya mengabaikan hal itu, dan segera
menanyakan apa gerangan sengketa yang sedang dialami dua orang itu.
Pihak penggugat mendalilkan bahwa pihak tergugat berupaya meminta
satu ekor kambing betinanya, padahaltergugat sudah memiliki 99 ekor,
sementara penggugat hanya memiliki satu sqja, hal ini dilakukan tergugat
dengan tqjuan menggenapkan 100 ekor kambing betina miliknya, Pihak
tergugat memiliki kemampuan debat dan berargumentasi yang sangat
hebat sehingga penggugat kalah, dan harus menyerahkan satu kambing
betinanya kepada tergugat, Nabi Daud a.s. memutuskan bahwa perbuatan
tergugatyang meminta satu-satunya kambing milik penggugat
untuk menggenapkan 100 ekor kambing milik tergugat, adalah satu
bentuk kezaliman. Lebih laryjut, Nabi Daud a.s. me{abarkan bahwa
memang kebanyakan orang yang berserikat itu cenderung menzalimi yang lain kecuari mereka yang beriman dan beramarsareh, namun yang
seperti itu sangat sedikitjumlahnya.
Tak lama berselang setelah duatuhkannya putusan, tiba-tiba dua
orang itu menghirang dari hadapan Nabi Daud a.s. ra terkejut, sembari
merenung apa gerangan tqiuan kejadian yang baru sqia diaraminya itu.
Rupanya ia sadar, beberapa waktu seberumnya ia irerakukan suatu
tindakan yang serupa dengan kasus yang baru sqia ia putuskan, Nabi
Daud a.s. memiliki 99 orang istri, namun-dengan-maksud menggenap_
kan 100 orang istri, ia meminta seorang p"r"mprun yang merupakan
istri dari seorang petani kecil di wilayah kekuasaannya,"padahal istri
petani itu hanya satu-satunya. petani berkeluh kesah kepada Nabi Daud
a's., bagaimana bisa meminta satu-satunya istriyang dimiliknya, padahal
baginda Nabi, sudah memiliki 99 istri, Nabi Daud a.s. meqiawab, har itu untuk menggenapkan me4iadi 100 0rang istri. Nabi Daud a.s. pun
sadar, tindakannya itu merupakan kezariman yang tidak seharusnya
dilakukan, sebagaimana hal serupa ia putuskan dalam kasus kambing
betina' Nabi Daud a.s. pun meminta ampun, dan tersungkur rukuk,
dan menyadari kesarahannya seraya kembari kepadajaran yang benar.
Kisah ini menuqiukkan kepada hakim-hakim di muka bumi, bahwa
dalam memutus perkara, tolok ukur keadilan dapat berupa keadaan di
mana hakim mendudukkan dirinya dalam situasi persengketaan, lalu
merasakan apa putusan yang mengandung keadiran oanipa putusan
yang mengandung kezaliman. parameter keadilan terhadap diri sendiri
itu sejatinyajuga merupakan parameter keadiran bagi para pihak. Har
yang sama diterapkan oleh lmam al Ghazali dalam hal menakar kezaliman
dalam hal transaksi ekonomi. Menurut ar Ghazari suatu perbuatan
dianggap kezariman atau merugikan orang rain sepertijuar beri yang
mengandung unsur gharar, berpatokan kepada diri sJndiri apirarr
menerima diperrakukan seperti itu atau tidak, sebab seorang musrim
harus menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya
sendiri.
Dari kejadian itu, Ailah swt. mendeklarasikan pengangkatan Nabi
Daud a,s. sebagai kharifah di muka bumi dengun'trgi, rienegakkan
hukum dan keadiran secara benar. Ailah swt. pun menyampaikan pesan
bahwa untuk tegaknya hukum dan keadiran di muki bumi ini, harus
dihindari sikap memperturutkan hawa nafsu saat mengadiri sengketa.Sikap memperturutkan hawa nafsu itu hanya akan menyesatkan
seseorang darijalan Allah swt., dan berqjung pada siksa yang pedih.l0
Dengan demikian, dicermati dari Alquran Surah Shaad ayat26, tugas
khalifah di muka bumi dalam konteks pelaku kekuasaan kehakiman,
adalah, 1) al hukmu bi al haqq, mengadili secara'haqq, yaitu seimbang
dalam mendudukkan pihak, terampil dalam menggali fakta (konstatir
dan kwalifisir), benar dalam menentukan hukum (konstituir), serta tepat
dalam meqjatuhkan putusan berikut diktum-diktum amarnya, 2) al
nahyu'an ittiba'i alhawa, yaitu larangan memperturutkan hawa nafsu
baik itu yang bersifat eksternal artinya dipengaruhi oleh hasrat-hasrat
duniawi sehingga menyengqja menyimpang dari kebenaran, maupun
dorongan dalam diriyang bersifat internal untuk berbuat kepada salah
satu pihak meskipun dengan tqjuan baik (good faith). Sebab hukum
harus tegak berdasarkan fakta-fakta yang secara nyata terungkap, Oleh
karena itu keterampilan menggali fakta sangat urgen sebab fakta itulah
yang menentukan bagaimana keadilan dijatuhkan.
Menutup tulisan ini, sangat relevan pesan Allah swt. dalam Surah
An Nazi'at l79l:37 -41:
Artinya: "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal-(nya). Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggat-(nya)".
Selain kelebihan-kelebihan itu, Nabi Daud a,s, sesungguhnya juga dianugerahkan kemampuan menyelesaikan sengketa, membedakan antara yang hak dan yang batil, sebagaimana idealnya ada dalam jiwa semua hakim didunia ini, Kemampuan kehakiman sedemkian ini disebut Alquran sebagai fashl al khitab.s Banyak tafsir yang memberikan pemaknaan terhadap istilah tersebut. Qadhi Syuraih dan al Sya'biy misalnya, termasuk juga Qatadah, menafsirkan istilah fashlal khitab sebagai saksi-saksi dan sumpah dalam kaitan memutus suatu sengketa. Artinya Nabi Daud a.s. dianugerahkan kemampuan memutus sengketa dengan menerapkan kaidah hukum acara berupa saksi-saksi bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat. Mujahid dan al Saddy memberikan makna ketepatan dalam memutus atau menjatuhkan putusan guna mengakhiri sengketa.
Terlepas dari penafsiran itu, bila di lihat dari beberapa riwayat yang berhubungan dengan bagaimana Nabi Daud a.s, memutus perkara, akan terlihat adanya beberapa 'romantika' keadilan yang bergulir dalam dirinya, sehingga memutus perkara, dihubungkan juga dengan esensi putusan itu bagi dirinya sebagai sang pengadil, juga saat bersamaan dengan anaknya Nabi Sulaiman a.s, Antara lain dapat diceritakan di sini adalah norma keadilan yang diterapkan oleh Nabi Daud dalam memutus
kasus kambing yang memakan hasil kebun orang lain.
"Suatu ketika seorang lelaki pemilik kebun datang kepada Nabi Daud
a,s, disertai dengan lelakiyang lain. Pemilik kebun itu berkata kepadanya,
"Tuanku Nabi Daud a.s,, sesungguhnya kambing laki-laki ini masuk ke
kebunku dan memakan semua anggur yang ada di dalamnya. Aku datang
kepadamu agar engkau mefiadi hakim bagi kami. Aku menuntut ganti rugi",
Nabi Daud a,s. berkata kepada pemilik kambing, 'Apakah benar bahwa
kambingmu memakan kebun lelaki ini?" Pemilik kambing itu berkata, "Benar
wahai tuanku" Daud a.s. berkata, 'Aku telah memutuskan untuk memberikan
kambingmu sebagai ganti dari apa yang telah dirusak oleh kambingmu". Nabi
Sulaiman a.s, yang Allah swt. telah memberinya hikmah di samping
ilmu yang diwarisi dari ayahnya, berkata, "aku memiliki hukum yang lain,
wahai ayahku". Nabi Sulaiman melarjutkan, 'Aku memutuskan agar pemilik
kambing mengambil kebun laki-laki ini yang buahnya telah dimakan oleh
kambingnya. Lalu hendaklah ia memperbaikinya dan menanam di situ sehingga
tumbuhlah pohon-pohon anggur yang baru. Dan aku memutuskan agar pmilik
kebun itu mengambil kambingnya sehingga ia dapat mengambil manfaat dari
bulunya dan susunya serta makan darinya. Jika pohon anggur telah besar
dan kebun tidak rusak atau kembali seperti semula, maka pemilik kebun itu
dapat mengambil kembali kebunnya dan begitu iuga pemilik kambing pun
dapat mengambil kambingnya" Nabi Daud a.s. berkata, "lni adalah keputusan
yang hebatwahai Sulaiman. Segala pqii bagi Allah swt. yang telah memberimu
hikmah ini. Engkau adalah Sulaiman yang benar'benar bliaksana" Nabi Daud
a.s,, meskipun kedekatannya kepada Allah swt. dan kecintaannya kepada-
Nya, selalu belajar kepada Allah swt. Allah swt. telah mengqjarinya
agar ia tidak memutuskan suatu perkara kecuali setelah ia mendengar
perkataan kedua belah pihak yang beperkara.
Dalam konteks peradilan saat ini, kisah Nabi Daud a.s. dan Nabi
Sulaiman a.s. dalam memutus kasus kambing pemakan hasil kebun
ini mengandung beberapa korelasi yang dapat d!jabarkan dalam empat
hal. Pertama, penerapan asas audi et alteram partem, bahwa dalam
memutus perkara kesempatan harus diberikan secara seimbang bagi
kedua belah pihak, sehingga tidak dibenarkan memutus sengketa tanpa
memberikan kesempatan memperdengarkan jawaban pihak yang
digugat, Sebab dari proses ini akan muncul fakta yang akurat yang
merladi landasan putusan. Asas ini sesungguhnya bukan panduan
yang baru dikenalkan oleh hukum acara perdata produk Belanda. Sebab
secara historis, asas itu sudah sejak zaman para nabi dan rasul diterapkan
secara seragam dan diterima turun-temurun. Apalagi jika dicermati
dari sejarah kodifikasi hukum acara Belanda, ternyata menginduk
kepada Hukum Acara Perdata di Prancis, yang notabene pernah dikuasai
umat lslam berikut penerapan hukumnya pun adalah hukum yang
dikenal dalam tradisi lslam. Kedua, legalitas dissenting opinion, yaitu
perbedaan pendapat hakim harus diutarakan sedemkian rupa dengan
argumentasi hukum yang akurat, setidaknya dalam musyawarah majelis
hakim, tiap hakim harus mengemukakan pendapat yang merdeka yang
kemudian dipertimbangkan untuk mendapatkan pendapat akhir yang
paling dekat dengan keadilan. Ketiga, sikap bljaksana dan mau menerima
pendapat hakimjunior, jika memang dilandasi oleh argumentasi yang
memadai, sebagaimana kebesaran jiwa itu ditunjukkan oleh Nabi Daud
a,s. saat menerima pendapat hukum anaknya Nabi Sulaiman a.s' Keernpat,
orientasi hukuman putusan perdata padd dasarnya tidak ideal jika
sekadar mengukur kesalahan dan kerugian semata-mata, melainkan
harus mengacu kepada orientasi restorative justice, yaitu upaya
memulihkan keadaan pihak sehingga hukuman yang diberikan bersifat
mengembalikan keadaan pihak yang dirugikan sesuai dengan bentuk
kerugian yang dialami bukan langsung dalam bentuk kompensasi atau
dikonversi ke dalam bentuk selain dari pada bentuk kerugian yang
sesungguhnya.
Kisah lain yang juga menggambarkan 'romantika' keadilan dalam
putusan Nabi Daud a.s., juga terlihat dalam kasus perebutan anak,
Dua orang ibu yang baru saja melahirkan bayi, dalam suatu waktu
yang bersamaan berada dalam suatu tempat dan bayi-bayinya ditaruh
ber-jajar di tempat yang sangat berdekatan. Tiba-tiba datang seekor
serigala Sangat buas mencurisalah Satu bayi. Kemudian ibu yang anaknya
dimakan serigala berusaha mengakui anak yang masih hidup sebagai
anaknya, dan memperkarakannya kepada Nabi Daud a.s. Dengan segala
argumentasi yang diqjukan penggugat, Nabi Daud a.s. memutuskan
bahwa anak itu milik si penggugat. Terhadap putusan itu Nabi Sulaiman
a.s. menerapkan cara mengadili yang berbeda, Nabi Sulaiman a.s.
meminta sebilah pisau agarbayi itu dibelah dua masing-masing ibu
mendapat separuhnya, Kemudian ibu yang mengaku-ngaku bayi itu
sebagai anaknya, membenarkan cara Nabi Sulaiman a,s., sementara
ibu kandung anak itu yang berposisi sebagai tergugat tidak tega, dan
menyatakan agar jangan dibelah, berikan saja anak itu kepada penggugat.
Lalu Nabi Sulaiman a.s. meqiatuhkan putusan, memberikan
anak itu kepada tergugat karena dia ibu kandung sebenarnya sebab
tidak ada ibu yang tega membiarkan anaknya dibelah dua.7
Sesungguhnya Nabi Daud a.s. diberikan Allah swt. kemampuan
yang tqjam dalam memutus perkara. Hanya saja, Allah swt. hendak menueiukkan bahwa anaknya yaitu Nabi Sulaiman a.s. punjuga diberikan
kemampuan yang sama sehingga penegakan hukum dan keadilan,
dapat diembankan kepadanya untuk melanjutkan tugas kerasulan di
muka bumi, Putusan-putusan yang dijatuhkan Nabi Daud a.s., merupakan
pembelqjaran yang didesain Allah swt., tidak sqja bagi umat Nabi
Daud a.s., tetapijuga bagi Nabi Daud a.s. itu sendiri. Bahwa keadilan
yang diterapkan kepada umat, harusjuga diterapkan kepada diri Rasul
itu sendiri. Hal ini sangatjelasdipahami dari salah satu putusan Nabi
Daud a.s. dalam kasus sengketa kambing betina yang diabadikan dalam
Alquran Surah Shaad ayat 23-25.
Dalam kisah itu, Nabi Daud a.s, yang sedang berada dalam mihrabnya,
dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang sedang bersengketa.
Meskipun sempat heran, sebab bagaimana mungkin istana yang
peqjagaannya ketat, bisa masuk dua orang tanpa pengawalan, namun
insting kehakimannya membuatnya mengabaikan hal itu, dan segera
menanyakan apa gerangan sengketa yang sedang dialami dua orang itu.
Pihak penggugat mendalilkan bahwa pihak tergugat berupaya meminta
satu ekor kambing betinanya, padahaltergugat sudah memiliki 99 ekor,
sementara penggugat hanya memiliki satu sqja, hal ini dilakukan tergugat
dengan tqjuan menggenapkan 100 ekor kambing betina miliknya, Pihak
tergugat memiliki kemampuan debat dan berargumentasi yang sangat
hebat sehingga penggugat kalah, dan harus menyerahkan satu kambing
betinanya kepada tergugat, Nabi Daud a.s. memutuskan bahwa perbuatan
tergugatyang meminta satu-satunya kambing milik penggugat
untuk menggenapkan 100 ekor kambing milik tergugat, adalah satu
bentuk kezaliman. Lebih laryjut, Nabi Daud a.s. me{abarkan bahwa
memang kebanyakan orang yang berserikat itu cenderung menzalimi yang lain kecuari mereka yang beriman dan beramarsareh, namun yang
seperti itu sangat sedikitjumlahnya.
Tak lama berselang setelah duatuhkannya putusan, tiba-tiba dua
orang itu menghirang dari hadapan Nabi Daud a.s. ra terkejut, sembari
merenung apa gerangan tqiuan kejadian yang baru sqia diaraminya itu.
Rupanya ia sadar, beberapa waktu seberumnya ia irerakukan suatu
tindakan yang serupa dengan kasus yang baru sqia ia putuskan, Nabi
Daud a.s. memiliki 99 orang istri, namun-dengan-maksud menggenap_
kan 100 orang istri, ia meminta seorang p"r"mprun yang merupakan
istri dari seorang petani kecil di wilayah kekuasaannya,"padahal istri
petani itu hanya satu-satunya. petani berkeluh kesah kepada Nabi Daud
a's., bagaimana bisa meminta satu-satunya istriyang dimiliknya, padahal
baginda Nabi, sudah memiliki 99 istri, Nabi Daud a.s. meqiawab, har itu untuk menggenapkan me4iadi 100 0rang istri. Nabi Daud a.s. pun
sadar, tindakannya itu merupakan kezariman yang tidak seharusnya
dilakukan, sebagaimana hal serupa ia putuskan dalam kasus kambing
betina' Nabi Daud a.s. pun meminta ampun, dan tersungkur rukuk,
dan menyadari kesarahannya seraya kembari kepadajaran yang benar.
Kisah ini menuqiukkan kepada hakim-hakim di muka bumi, bahwa
dalam memutus perkara, tolok ukur keadilan dapat berupa keadaan di
mana hakim mendudukkan dirinya dalam situasi persengketaan, lalu
merasakan apa putusan yang mengandung keadiran oanipa putusan
yang mengandung kezaliman. parameter keadilan terhadap diri sendiri
itu sejatinyajuga merupakan parameter keadiran bagi para pihak. Har
yang sama diterapkan oleh lmam al Ghazali dalam hal menakar kezaliman
dalam hal transaksi ekonomi. Menurut ar Ghazari suatu perbuatan
dianggap kezariman atau merugikan orang rain sepertijuar beri yang
mengandung unsur gharar, berpatokan kepada diri sJndiri apirarr
menerima diperrakukan seperti itu atau tidak, sebab seorang musrim
harus menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya
sendiri.
Dari kejadian itu, Ailah swt. mendeklarasikan pengangkatan Nabi
Daud a,s. sebagai kharifah di muka bumi dengun'trgi, rienegakkan
hukum dan keadiran secara benar. Ailah swt. pun menyampaikan pesan
bahwa untuk tegaknya hukum dan keadiran di muki bumi ini, harus
dihindari sikap memperturutkan hawa nafsu saat mengadiri sengketa.Sikap memperturutkan hawa nafsu itu hanya akan menyesatkan
seseorang darijalan Allah swt., dan berqjung pada siksa yang pedih.l0
Dengan demikian, dicermati dari Alquran Surah Shaad ayat26, tugas
khalifah di muka bumi dalam konteks pelaku kekuasaan kehakiman,
adalah, 1) al hukmu bi al haqq, mengadili secara'haqq, yaitu seimbang
dalam mendudukkan pihak, terampil dalam menggali fakta (konstatir
dan kwalifisir), benar dalam menentukan hukum (konstituir), serta tepat
dalam meqjatuhkan putusan berikut diktum-diktum amarnya, 2) al
nahyu'an ittiba'i alhawa, yaitu larangan memperturutkan hawa nafsu
baik itu yang bersifat eksternal artinya dipengaruhi oleh hasrat-hasrat
duniawi sehingga menyengqja menyimpang dari kebenaran, maupun
dorongan dalam diriyang bersifat internal untuk berbuat kepada salah
satu pihak meskipun dengan tqjuan baik (good faith). Sebab hukum
harus tegak berdasarkan fakta-fakta yang secara nyata terungkap, Oleh
karena itu keterampilan menggali fakta sangat urgen sebab fakta itulah
yang menentukan bagaimana keadilan dijatuhkan.
Menutup tulisan ini, sangat relevan pesan Allah swt. dalam Surah
An Nazi'at l79l:37 -41:
Artinya: "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal-(nya). Dan
adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
tinggat-(nya)".
0 Comments:
Posting Komentar