-->

  • SAAT NABI DAUD BERCERMIN DARI PUTUSANNYA

    Hasil gambar untuk putusan
    Dalam beberapa literatur klasik, jumlah nabi sangat banyak hingga mencapai angka 124.000 nabi, dan di antara jumlah itu yang menjadi rasul sebanyak 313 rasul, Hanya saja, Alquran menegaskan bahwa sebagian rasul saja yang diceritakan dalam Alquran ,sementara sebagian lain tidak diceritakn. Salah satu yang cukup sering diceritakan Alquran adalah kisah Nabi Daud alaihi salam. Nabi Daud a.s., sering dikenal sebagai nabi yang luas kerajaannya, andal bala tentaranya, juga dianugerahkan suara yang merdu hingga makhluk di sekililingnya selalu syahdu saat ia membaca Kitab zabur. Kedudukannya sebagai raja dari sebuah kerajaan yang kukuh itu tidak diperoleh secara serta-merta, tetapi melalui proses panjang dari yang semula dirinya hanya pengembala kambing 'bersenjata' ;tongkat batu. Kedudukan yang rendah itu kemudian menjadi sangat mulia dan ia dikenal luas di kalangan Bani lsrail, setelah atas izin Allah swt. mengalahkan Jalut, sosok sangat angkuh lagi lalim di zamannya. Daud pun menggantikan Raja Thalut, dan mewarisi kerajaan yang besar.

    Selain kelebihan-kelebihan itu, Nabi Daud a,s, sesungguhnya juga dianugerahkan kemampuan menyelesaikan sengketa, membedakan antara yang hak dan yang batil, sebagaimana idealnya ada dalam jiwa semua hakim didunia ini, Kemampuan kehakiman sedemkian ini disebut Alquran sebagai fashl al khitab.s Banyak tafsir yang memberikan pemaknaan terhadap istilah tersebut. Qadhi Syuraih dan al Sya'biy misalnya, termasuk juga Qatadah, menafsirkan istilah fashlal khitab sebagai saksi-saksi dan sumpah dalam kaitan memutus suatu sengketa. Artinya Nabi Daud a.s. dianugerahkan kemampuan memutus sengketa dengan menerapkan kaidah hukum acara berupa saksi-saksi bagi penggugat dan sumpah bagi tergugat. Mujahid dan al Saddy memberikan makna ketepatan dalam memutus atau menjatuhkan putusan guna mengakhiri sengketa.

    Terlepas dari penafsiran itu, bila di lihat dari beberapa riwayat yang berhubungan dengan bagaimana Nabi Daud a.s, memutus perkara, akan terlihat adanya beberapa 'romantika' keadilan yang bergulir dalam dirinya, sehingga memutus perkara, dihubungkan juga dengan esensi putusan itu bagi dirinya sebagai sang pengadil, juga saat bersamaan dengan anaknya Nabi Sulaiman a.s, Antara lain dapat diceritakan di sini adalah norma keadilan yang diterapkan oleh Nabi Daud dalam memutus
    kasus kambing yang memakan hasil kebun orang lain.

    "Suatu ketika seorang lelaki pemilik kebun datang kepada Nabi Daud
    a,s, disertai dengan lelakiyang lain. Pemilik kebun itu berkata kepadanya,
    "Tuanku Nabi Daud a.s,, sesungguhnya kambing laki-laki ini masuk ke
    kebunku dan memakan semua anggur yang ada di dalamnya. Aku datang
    kepadamu agar engkau mefiadi hakim bagi kami. Aku menuntut ganti rugi",
    Nabi Daud a,s. berkata kepada pemilik kambing, 'Apakah benar bahwa
    kambingmu memakan kebun lelaki ini?" Pemilik kambing itu berkata, "Benar
    wahai tuanku" Daud a.s. berkata, 'Aku telah memutuskan untuk memberikan
    kambingmu sebagai ganti dari apa yang telah dirusak oleh kambingmu". Nabi
    Sulaiman a.s, yang Allah swt. telah memberinya hikmah di samping
    ilmu yang diwarisi dari ayahnya, berkata, "aku memiliki hukum yang lain,
    wahai ayahku". Nabi Sulaiman melarjutkan, 'Aku memutuskan agar pemilik
    kambing mengambil kebun laki-laki ini yang buahnya telah dimakan oleh
    kambingnya. Lalu hendaklah ia memperbaikinya dan menanam di situ sehingga
    tumbuhlah pohon-pohon anggur yang baru. Dan aku memutuskan agar pmilik
    kebun itu mengambil kambingnya sehingga ia dapat mengambil manfaat dari
    bulunya dan susunya serta makan darinya. Jika pohon anggur telah besar
    dan kebun tidak rusak atau kembali seperti semula, maka pemilik kebun itu
    dapat mengambil kembali kebunnya dan begitu iuga pemilik kambing pun
    dapat mengambil kambingnya" Nabi Daud a.s. berkata, "lni adalah keputusan
    yang hebatwahai Sulaiman. Segala pqii bagi Allah swt. yang telah memberimu
    hikmah ini. Engkau adalah Sulaiman yang benar'benar bliaksana" Nabi Daud
    a.s,, meskipun kedekatannya kepada Allah swt. dan kecintaannya kepada-
    Nya, selalu belajar kepada Allah swt. Allah swt. telah mengqjarinya
    agar ia tidak memutuskan suatu perkara kecuali setelah ia mendengar
    perkataan kedua belah pihak yang beperkara.

    Dalam konteks peradilan saat ini, kisah Nabi Daud a.s. dan Nabi
    Sulaiman a.s. dalam memutus kasus kambing pemakan hasil kebun
    ini mengandung beberapa korelasi yang dapat d!jabarkan dalam empat
    hal. Pertama, penerapan asas audi et alteram partem, bahwa dalam
    memutus perkara kesempatan harus diberikan secara seimbang bagi
    kedua belah pihak, sehingga tidak dibenarkan memutus sengketa tanpa
    memberikan kesempatan memperdengarkan jawaban pihak yang
    digugat, Sebab dari proses ini akan muncul fakta yang akurat yang
    merladi landasan putusan. Asas ini sesungguhnya bukan panduan
    yang baru dikenalkan oleh hukum acara perdata produk Belanda. Sebab
    secara historis, asas itu sudah sejak zaman para nabi dan rasul diterapkan
    secara seragam dan diterima turun-temurun. Apalagi jika dicermati
    dari sejarah kodifikasi hukum acara Belanda, ternyata menginduk
    kepada Hukum Acara Perdata di Prancis, yang notabene pernah dikuasai
    umat lslam berikut penerapan hukumnya pun adalah hukum yang
    dikenal dalam tradisi lslam. Kedua, legalitas dissenting opinion, yaitu
    perbedaan pendapat hakim harus diutarakan sedemkian rupa dengan
    argumentasi hukum yang akurat, setidaknya dalam musyawarah majelis
    hakim, tiap hakim harus mengemukakan pendapat yang merdeka yang
    kemudian dipertimbangkan untuk mendapatkan pendapat akhir yang
    paling dekat dengan keadilan. Ketiga, sikap bljaksana dan mau menerima
    pendapat hakimjunior, jika memang dilandasi oleh argumentasi yang
    memadai, sebagaimana kebesaran jiwa itu ditunjukkan oleh Nabi Daud
    a,s. saat menerima pendapat hukum anaknya Nabi Sulaiman a.s' Keernpat,
    orientasi hukuman putusan perdata padd dasarnya tidak ideal jika
    sekadar mengukur kesalahan dan kerugian semata-mata, melainkan
    harus mengacu kepada orientasi restorative justice, yaitu upaya
    memulihkan keadaan pihak sehingga hukuman yang diberikan bersifat
    mengembalikan keadaan pihak yang dirugikan sesuai dengan bentuk
    kerugian yang dialami bukan langsung dalam bentuk kompensasi atau
    dikonversi ke dalam bentuk selain dari pada bentuk kerugian yang
    sesungguhnya.

    Kisah lain yang juga menggambarkan 'romantika' keadilan dalam
    putusan Nabi Daud a.s., juga terlihat dalam kasus perebutan anak,
    Dua orang ibu yang baru saja melahirkan bayi, dalam suatu waktu
    yang bersamaan berada dalam suatu tempat dan bayi-bayinya ditaruh
    ber-jajar di tempat yang sangat berdekatan. Tiba-tiba datang seekor
    serigala Sangat buas mencurisalah Satu bayi. Kemudian ibu yang anaknya
    dimakan serigala berusaha mengakui anak yang masih hidup sebagai
    anaknya, dan memperkarakannya kepada Nabi Daud a.s. Dengan segala
    argumentasi yang diqjukan penggugat, Nabi Daud a.s. memutuskan
    bahwa anak itu milik si penggugat. Terhadap putusan itu Nabi Sulaiman
    a.s. menerapkan cara mengadili yang berbeda, Nabi Sulaiman a.s.
    meminta sebilah pisau agarbayi itu dibelah dua masing-masing ibu
    mendapat separuhnya, Kemudian ibu yang mengaku-ngaku bayi itu
    sebagai anaknya, membenarkan cara Nabi Sulaiman a,s., sementara
    ibu kandung anak itu yang berposisi sebagai tergugat tidak tega, dan
    menyatakan agar jangan dibelah, berikan saja anak itu kepada penggugat.
    Lalu Nabi Sulaiman a.s. meqiatuhkan putusan, memberikan
    anak itu kepada tergugat karena dia ibu kandung sebenarnya sebab
    tidak ada ibu yang tega membiarkan anaknya dibelah dua.7
    Sesungguhnya Nabi Daud a.s. diberikan Allah swt. kemampuan
    yang tqjam dalam memutus perkara. Hanya saja, Allah swt. hendak menueiukkan bahwa anaknya yaitu Nabi Sulaiman a.s. punjuga diberikan
    kemampuan yang sama sehingga penegakan hukum dan keadilan,
    dapat diembankan kepadanya untuk melanjutkan tugas kerasulan di
    muka bumi, Putusan-putusan yang dijatuhkan Nabi Daud a.s., merupakan
    pembelqjaran yang didesain Allah swt., tidak sqja bagi umat Nabi
    Daud a.s., tetapijuga bagi Nabi Daud a.s. itu sendiri. Bahwa keadilan
    yang diterapkan kepada umat, harusjuga diterapkan kepada diri Rasul
    itu sendiri. Hal ini sangatjelasdipahami dari salah satu putusan Nabi
    Daud a.s. dalam kasus sengketa kambing betina yang diabadikan dalam
    Alquran Surah Shaad ayat 23-25.

    Dalam kisah itu, Nabi Daud a.s, yang sedang berada dalam mihrabnya,
    dikejutkan dengan kehadiran dua orang yang sedang bersengketa.
    Meskipun sempat heran, sebab bagaimana mungkin istana yang
    peqjagaannya ketat, bisa masuk dua orang tanpa pengawalan, namun
    insting kehakimannya membuatnya mengabaikan hal itu, dan segera
    menanyakan apa gerangan sengketa yang sedang dialami dua orang itu.
    Pihak penggugat mendalilkan bahwa pihak tergugat berupaya meminta
    satu ekor kambing betinanya, padahaltergugat sudah memiliki 99 ekor,
    sementara penggugat hanya memiliki satu sqja, hal ini dilakukan tergugat
    dengan tqjuan menggenapkan 100 ekor kambing betina miliknya, Pihak
    tergugat memiliki kemampuan debat dan berargumentasi yang sangat
    hebat sehingga penggugat kalah, dan harus menyerahkan satu kambing
    betinanya kepada tergugat, Nabi Daud a.s. memutuskan bahwa perbuatan
    tergugatyang meminta satu-satunya kambing milik penggugat
    untuk menggenapkan 100 ekor kambing milik tergugat, adalah satu
    bentuk kezaliman. Lebih laryjut, Nabi Daud a.s. me{abarkan bahwa
    memang kebanyakan orang yang berserikat itu cenderung menzalimi yang lain kecuari mereka yang beriman dan beramarsareh, namun yang
    seperti itu sangat sedikitjumlahnya.
    Tak lama berselang setelah duatuhkannya putusan, tiba-tiba dua
    orang itu menghirang dari hadapan Nabi Daud a.s. ra terkejut, sembari
    merenung apa gerangan tqiuan kejadian yang baru sqia diaraminya itu.
    Rupanya ia sadar, beberapa waktu seberumnya ia irerakukan suatu
    tindakan yang serupa dengan kasus yang baru sqia ia putuskan, Nabi
    Daud a.s. memiliki 99 orang istri, namun-dengan-maksud menggenap_
    kan 100 orang istri, ia meminta seorang p"r"mprun yang merupakan
    istri dari seorang petani kecil di wilayah kekuasaannya,"padahal istri
    petani itu hanya satu-satunya. petani berkeluh kesah kepada Nabi Daud
    a's., bagaimana bisa meminta satu-satunya istriyang dimiliknya, padahal
    baginda Nabi, sudah memiliki 99 istri, Nabi Daud a.s. meqiawab, har itu untuk menggenapkan me4iadi 100 0rang istri. Nabi Daud a.s. pun
    sadar, tindakannya itu merupakan kezariman yang tidak seharusnya
    dilakukan, sebagaimana hal serupa ia putuskan dalam kasus kambing
    betina' Nabi Daud a.s. pun meminta ampun, dan tersungkur rukuk,
    dan menyadari kesarahannya seraya kembari kepadajaran yang benar.

    Kisah ini menuqiukkan kepada hakim-hakim di muka bumi, bahwa
    dalam memutus perkara, tolok ukur keadilan dapat berupa keadaan di
    mana hakim mendudukkan dirinya dalam situasi persengketaan, lalu
    merasakan apa putusan yang mengandung keadiran oanipa putusan
    yang mengandung kezaliman. parameter keadilan terhadap diri sendiri
    itu sejatinyajuga merupakan parameter keadiran bagi para pihak. Har
    yang sama diterapkan oleh lmam al Ghazali dalam hal menakar kezaliman
    dalam hal transaksi ekonomi. Menurut ar Ghazari suatu perbuatan
    dianggap kezariman atau merugikan orang rain sepertijuar beri yang
    mengandung unsur gharar, berpatokan kepada diri sJndiri apirarr
    menerima diperrakukan seperti itu atau tidak, sebab seorang musrim
    harus menyayangi saudaranya sebagaimana ia menyayangi dirinya
    sendiri.

    Dari kejadian itu, Ailah swt. mendeklarasikan pengangkatan Nabi
    Daud a,s. sebagai kharifah di muka bumi dengun'trgi, rienegakkan
    hukum dan keadiran secara benar. Ailah swt. pun menyampaikan pesan
    bahwa untuk tegaknya hukum dan keadiran di muki bumi ini, harus
    dihindari sikap memperturutkan hawa nafsu saat mengadiri sengketa.Sikap memperturutkan hawa nafsu itu hanya akan menyesatkan
    seseorang darijalan Allah swt., dan berqjung pada siksa yang pedih.l0
    Dengan demikian, dicermati dari Alquran Surah Shaad ayat26, tugas
    khalifah di muka bumi dalam konteks pelaku kekuasaan kehakiman,
    adalah, 1) al hukmu bi al haqq, mengadili secara'haqq, yaitu seimbang
    dalam mendudukkan pihak, terampil dalam menggali fakta (konstatir
    dan kwalifisir), benar dalam menentukan hukum (konstituir), serta tepat
    dalam meqjatuhkan putusan berikut diktum-diktum amarnya, 2) al
    nahyu'an ittiba'i alhawa, yaitu larangan memperturutkan hawa nafsu
    baik itu yang bersifat eksternal artinya dipengaruhi oleh hasrat-hasrat
    duniawi sehingga menyengqja menyimpang dari kebenaran, maupun
    dorongan dalam diriyang bersifat internal untuk berbuat kepada salah
    satu pihak meskipun dengan tqjuan baik (good faith). Sebab hukum
    harus tegak berdasarkan fakta-fakta yang secara nyata terungkap, Oleh
    karena itu keterampilan menggali fakta sangat urgen sebab fakta itulah
    yang menentukan bagaimana keadilan dijatuhkan.

    Menutup tulisan ini, sangat relevan pesan Allah swt. dalam Surah
    An Nazi'at l79l:37 -41:
    Artinya: "Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan
    kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal-(nya). Dan
    adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan
    diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat
    tinggat-(nya)".
  • 0 Comments:

    Posting Komentar